Garden of Souls

Leave a comment

November 12, 2013 by Ain Nisa

20131112-142915.jpg

Many things grow in the garden that were never sown there , Thomas Fuller, Gnomologia, 1732

Seorang penjual tanaman dekat rumah pernah bilang, mengurus tanaman itu seperti mengurus bayi. Harus diberi makan, minum, dan nutrisi yang cukup kalau mau ia tumbuh sehat. Seperti ketika melihatnya memisah-misahkan tanaman yang bergerumbulan di satu pot ke pot-pot lainnya, saya spontan bertanya mengapa dipisahkan, lebih cantik begitu. Wanita muda sederhana itu hanya tersenyum simpul sambil berkata, ya layaknya bayi, ia juga kesempitan berdesak-desakan dalam satu pot, nanti tumbuhnya tidak maksimal.

Ibu mertua saya ternyata juga merasakan hal yang sama dan mengucapkan komentar pamungkas, “Tanaman itu mau disayang.”

Mungkin hati ini belum merasa sedekat itu dengan para tanaman. Alasan mengapa kaki-kaki ini mondar-mandir nyaris 5 kali sehari di taman adalah, karena kebun selalu terasa magis. Setiap saya melangkah, masing-masing pohon sibuk dengan dunianya. Pohon jeruk sibuk memberi makan ulat bulu dan menumbuhkan tunas baru. Tanaman hias di ujung sana sedang bermurah hati pada serangga membiarkan satu daunnya digerogoti belalang dan daun sebelahnya dihinggapi kepik. Sedangkan sang bunga krisan merah yang baru dibeli kemarin, sedang asyik memekarkan kelopak-kelopaknya. Lalu saya, manusia, berakal dan berpanca indera, seperti bukan apa-apa bagi mereka.

Sungguh bukan sesuatu yang buruk. Kadang manusia juga memiliki hati yang lelah, dan menjadi pengamat di kebun dan semua pekerjaan alamnya sangat menenangkan.

Tatapanku pagi ini bertumpuk pada bibit bunga Rose Balsam yang baru kubeli dua minggu yang lalu. Benihnya sudah berkecambah, ada tujuh buah. Mungkin dua hari lagi mereka sudah harus dipisah-pisahkan. Senyum ini tak tertahan. Ketika kau berhasil membesarkan sesuatu, bisakah kau menahan kebahagiaan yang seakan melesak dari hatimu?

Lalu apakah mereka juga merasakan itu ketika membesarkanku? Pertanyaan itu juga tidak tertahan.

Mama kemarin memarahiku, karena aku bertanya mengapa Papa dulu sering membentakku di depan orang banyak, atau mengapa Mama selalu mengkritik tindak-tandukku. Hal-hal kecil yang tampak sepele,yang menjadi kebiasaan, telah menjadi palu dan pahat mereka bagi jiwaku. Itu semua sudah berlalu, Mama berkata bijak.

Apakah itu bijak? bisik hatiku. Mengabaikan pertanyaanmu dan menyalahkannya pada waktu yang sudah lewat. Pertanyaanmu tak akan pernah hilang, desisnya lagi. Mungkin kau akan terus bertambah dan tua dan kau akan memaafkan mereka, tapi kau tak akan lupa, siapa dan bagaimana jiwamu terpahat.

Sebagaimana seorang pelukis ditanya tentang lukisannya, seorang sutradara tentang filmnya, atau seorang pekebun tentang tanaman-tanamannya, banyak hal yang ingin kuketahui, tentang bagaimana sepasang orangtua membesarkan anaknya. Tapi aku tak boleh bertanya, dan pertanyaanku tak akan dijawab. Kedamaian jiwaku dipasung di depan mata, dan aku hanya diharap maklum.

Mataku mengerjap tertimpa sinar matahari yang seakan ingin menghibur. “Cerialah,” terdengar ia bersuara.Lalu mataku tertumbuk pada beberapa rumput liar di tepian taman, dan aku menunduk mencabutnya. Mungkin seperti ini juga membesarkan anak manusia, seperti kau tak bisa mengomeli tanaman liar karena tumbuh di kebunmu, kau hanya bisa mencabutinya, meski mereka akan terus tumbuh. Ketika kau membentak anakmu, kau tak bisa berharap mereka akan terus merasakan cinta, rasa benci itu itu juga akan merambati hatinya, dan yang dapat dilakukan hanyalah mencabutinya, dengan memberinya penjelasan, dengan membicarakannya.

Pagi itu, mataku berkaca-kaca lagi, berharap rumput liar di genggamanku, dapat kubuang bersama yang merambati hatiku.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: