Ketika Para Ibu Sarapan bersama Waktu
Leave a commentMarch 23, 2013 by Ain Nisa
Di belakang McDonalds besar dekat rumah, selalu ada para penjual yang menjajakan sarapan setiap sabtu-minggu pagi. Mereka tidak seperti penjual kaki lima. Mereka menyewa ruko kosong – beberapa ruko kosong yang digabungkan jadi satu – lalu mendirikan meja dan menggelar dagangannya. Beberapa dari mereka juga warga setempat yang tinggal di pemukiman yang sama dengan yang kutinggali. Beberapa berjualan karena hobi, beberapa karena mencari tamnbahan untuk bantu suami.
Ke sanalah aku pergi setiap akhir minggu.
Jam enam pagi aku sudah akan terjaga meski mataku tidak terbuka. Anak-anakku, satu bayi dan satu batita, berbeda waktu bangunnya. Si bayi, biasanya bangun lebih awal dan mengajak main sebelum sarapan dan mandi. Si kakak, bangun lebih siang karena ia hobi bergadang. Mungkin si kakak lebih serupa ayahnya, yang dengkur halusnya masih terdengar dari balik selimut tebal.
Aku tidak berminat membangunkan si ayah karena tahu malamnya ia baru pulang kerja larut malam dan bangun siang setelah shalat shubuh adalah suatu kemewahan yang – paling tidak – bisa didapatnya dua kali seminggu. Untuk si kakak yang sedang aktif-aktifnya bergerak, membiarkannya tidur lebih lama adalah alasanku mencuri-curi waktu untuk beristirahat.
Jam setengah tujuh aku sudah mandi dan berpakaian rapi, lalu mengenakan sepatu jogging. Jarak dari rumahku ke tempat itu – belakang McD, kami biasa menyebutnya – tidak seberapa jauh menurutku. Hanya 500-600 meter. Bagiku yang sejak kecil sudah terbiasa jalan kaki pergi dan pulang sekolah, jarak itu kecil.
Bagiku, berjalan kaki itu menyenangkan.
Berjalan kaki itu menyembuhkan.
***
Segelas teh tawar panas dan semangkuk lontong sayur medan yang mengepul sudah tersedia di hadapanku. Tempat-tempat duduk yang lengang dan bisik-bisik pengendara sepeda yang sudah siap berpetualang bergema di kedua telingaku. Damai itu pagi. Pagi itu damai. Saat dimana sinar matahari pun takut membuat orang berkeringat.
Membeli sarapan sendirian memberi kesenangan tersendiri untukku sebagai seorang ibu: waktu. Seorang ibu tidak pernah punya cukup waktu. Paginya habis memandikan anak dan menyuapkan sarapan, siangnya habis untuk mengajak mereka bermain atau memasak, dan kegiatan sore tak berbeda dengan pagi. Malam, menyiapkan makanan dan menemani sang ayah. Dan ketika malam sudah sedikit larut, ketika ia bisa sedikit memikirkan apa yang diinginkan, tubuhnya tidak kooperatif dan jatuh terlelap.
Esoknya semua berjalan seperti itu lagi. Seakan Tuhan sedang hobi memencet tombol rewind.
Padahal, meski seorang wanita difitrahkan mengandung dan melahirkan anak, tidakkah ia memiliki kepribadiannya sendiri? Tidakkah ia harus bisa mencintai dirinya sendiri, sebelum bisa member cinta pada sekelilingnya? Tidakkah ia ingin berkarya dan menghasilkan sesuatu, meski sedikit? Bagaimana semua itu dilakukan, kalau luangnya waktu pun terasa tabu?
Atau mungkin itu hanya saya. Yang percaya seorang Ibu adalah individu yang harus terus tumbuh. Bukan martir. Bukan sang pengorban hidup.
Sambil menyeruput teh tawar yang menghangat, mataku menangkap sosok wanita berjilbab, dua meja dariku. Juga sendirian. Juga sedang menatap menerawang ke depan. Dan di mejanya juga tersedia lontong sayur medan dan segelas teh panas. Matanya tidak menyorotkan kesedihan. Hanya kelembutan.
“Ini yang dibungkus bu,” suara penjual bubur kacang hijau mengagetkanku. Kubayar dengan uang pas sambil berterima kasih, lalu kulihat penjual itu menghampiri wanita tadi, dan menyerahkan bungkusan dengan jumlah yang sama. Tidakkah kami sama? Membungkuskan makanan untuk keluarga?
***
Sebelum bangun dan beranjak pulang, kunikmati lagi satu pemandangan pagi. Tak lama lagi, tempat sarapan ini akan ramai dengan orang-orang yang baru bangun tidur. Kadang masih ada yang mengenakan piyama. Tukang-tukang delman sudah setia menanti di pojok dekat penjual DVD bajakan, begitu juga dengan penjual balon. Tak lama lagi, tempat ini akan riuh.
Seorang wanita melintas di hadapanku, sambil membawa tiga stereofoam yang dibungkus plastik putih. “Iya yah, bunda udah beliin mie ayam,” ujarnya sambil berbicara di telepon dengan suaminya. Ia mengenakan sepatu olahraga, baju dan celana training, serta jilbab kaos. Di mukanya yang banjir peluh, ada senyum.
Inilah kemewahan sederhana bagi kami, para ibu yang membeli sarapan sendirian. Tidak perlu berjam-jam, hanya 20 menit untuk berjalan kaki, duduk sarapan sendiri, untuk kemudian kembali memikirkan keluarga kami hendak sarapan apa pagi ini.
Dan akan kuakhiri tulisan ini dengan sepotong kisah dari Amba, karya Laksmi Pamuntjak, yang berkisah tentang Nuniek yang bersabar dengan waktu, dan akhirnya mendapatkan waktunya :
“Setelah menjalani kehidupan pernikahan selama enam belas tahun, setelah mengurus semua keperluan keluarganya tanpa diharuskan suaminya turut mencari nafkah, baru setahun terakhir Nuniek memberanikan diri menjajakan kue-kue bikinannya, nagasari, getuk lindri, apem, dan lupis, di warung Bu Rusmini. Amba dan adik-adiknya menunjukan dukungan pada ibunya dengan mengunci mulut dan membantu di dapur, tiga hari seminggu mengolah tambahan santan dan gula jawa.
Apapun perbedaan pendapat di antara mereka, mereka telah terlatih untuk melindungi satu sama lain. Penghasilan yang tak seberapa, tapi cukup membuatnya bangga. Dan perasaan bangga ini, perasaan yang sudah lama hilang semenjak ia sempat mendapat penghasilan dari menembang buat sejumlah sanggar keroncong, atau ketika ia menjadi juara macapat sekabupaten, membuat langkahnya lebih gemulai, sorot matanya lebih berkebyar. Tiba-tiba ia ingat rasanya cantik dan berarti.”